1. Asal Usul BK ( Bimbingan Konseling )
Sejarah lahirnya Bimbingan dan
Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling
(dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali
sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP)
di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun
1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada
delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP
Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado.
Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun
“Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP.
Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman
Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1978
diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di
IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan
di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari
tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan
Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui
tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit
bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di
dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan
bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih
belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu
peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.Sampai tahun 1993
pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi
pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP.
Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah,
kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua
terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga
lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di
sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK
Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan
diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru
Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai
jelas.
a. Pra Lahirnya Pola 17
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di
sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang
harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling,
sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi
negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud
kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman,
persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya:
konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai
pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK
dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau
”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara
pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa
saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil
pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi
semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes,
inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani
masalah-masalah yang ringan saja.
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan
dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan
disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Belum adanya hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960
sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan
IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk
mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I
di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi
bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI
inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.
2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan
BP di sekolahLahirnya SK Menpan No.
026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk
melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau
membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau
guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau
Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih
kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas.
Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari
guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran
untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan
tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah.
3. Belum ada aturan main yang jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana,
kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan
dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior,
guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya
untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar
tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing.
Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan
Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang
tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua
menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah
atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan
pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut
mengakibatkan:
1. Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu
mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap
siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing
ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia,
Kesenian, dsb.nya.
2. Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan
pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru
piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
3. Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang
mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah
seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang
dikeluarkan dari celana atau rok.
4. Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan,
karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi
kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya,
5. Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari
personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak
terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan
konseling.Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah
di Indonesia.
b. Lahirnya Pola 17
SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai
petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdapat
hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling
adalah : 1. Istilah “bimbingan dan penyuluhan” secara resmi diganti menjadi
“bimbingan dan konseling.” 2. Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah
adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara khusus ditugasi untuk itu.
Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh semua guru atau
sembarang guru. 3. Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan
bimbingan dan konseling adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan
tersebut; minimum mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam.
4. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas : a.
Pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asasnya. b. Bidang bimbingan :
bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir c. Jenis layanan : layanan
orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling
perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.d. Kegiatan pendukung :
instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan alih tangan
kasus. Unsur-unsur di atas (nomor 4) membentuk apa yang kemudian disebut “BK
Pola-17” 5. Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap
:a. Perencanaan kegiatanb. Pelaksanaan kegiatanc. Penilaian hasil kegiatand.
Analisis hasil penilaiane. Tindak lanjut6. Kegiatan bimbingan dan konseling
dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja sekolah. Hal-hal yang substansial
di atas diharapkan dapat mengubah kondisi tidak jelas yang sudah lama
berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan seperti :1. Pengangkatan
guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.2.
Penataran guru-guru pembimbing tingkat nasional, regional dan lokal mulai
dilaksanakan.3. Penyususnan pedoman kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah,
seperti :a. Buku teks bimbingan dan konselingb. Buku panduan pelaksanaan
menyeluruh bimbingan dan konseling di sekolahc. Panduan penyusunan program
bimbingan dan konselingd. Panduan penilaian hasil layanan bimbingan dan
konselinge. Panduan pengelolaan bimbingan dan konseling di sekolah4.
Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling5. Penyusunan pedoman Musyawarah
Guru Pembimbing (MGP) Dengan SK Mendikbud No 025/1995 khususnya yang menyangkut
bimbingan dan konseling sekarang menjadi jelas : istilah yang digunakan
bimbingan dan konseling, pelaksananya guru pembimbing atau guru yang sudah
mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam, kegiatannya dengan
BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan,
penilaian, analisis penilaian dan tindak lanjut. Pelaksanaan kegiatan bisa di
dalam dan luar jam kerja. Peningkatan profesionalisme guru pembimbing melalui
Musyawarah Guru Pembimbing, dan guru pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks
dan buku panduan.
2. Anggapan Mengenai BK
1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama
sekali dari pendidikan.
Ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah
tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup
mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka
sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara
ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar
terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara
nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan
pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan
interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih
banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin
dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran
semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling),
perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas
Bimbingan dan Konseling lainnya.
Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah
pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan
dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan
pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen),
yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal.
Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing
memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).
2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan
pekerjaan dokter dan psikiater.
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat
persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan
psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari
penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai
dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah
konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling
tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan
psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang
yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang
dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta
teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara
pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi,
penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya
perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani
masalah-masalah yang bersifat insidental.
Memang tidak dipungkiri pekerjaan
bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang
dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini
bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya
bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan
program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah
pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik
untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa
tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling tidak hanya
diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan
tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa
(Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan
pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling
yang tersedia.
5. imbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau
“kurang/tidak normal”.
Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah
hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis
yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari
masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut
tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya.
Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan
kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal.
Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada
keluhan pertama (gejala) saja.
Pada umumnya usaha pemberian bantuan
memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan
konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang
ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa
dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan
konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali
sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.
7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.
Ukuran berat-ringannya suatu masalah
memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun
setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat.
Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari
lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang
paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat
dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga
menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah
(referal) kepada pihak yang lebih kompeten
8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan
sebagai “polisi sekolah”.
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan
dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan
tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi
tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa
yang bersalah.
Dengan kekuatan inti bimbingan dan
konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan
sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang
dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk
jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku
positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan
konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai
proses pemberian nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya
bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan
sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan
dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan
pribadi klien secara optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus
bekerja sama dengan ahli atau petugas lain
Pelayanan bimbingan dan konseling
bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur
budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling
tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang
diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh
klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri
sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan
piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah
dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat
dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata
pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru
pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan
saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping
itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan
dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran
merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah
belajar.
Namun demikian, konselor atau guru
pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain.
Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja
sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah
siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti
“praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu
bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional
justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan
orang lain atau ahli.
11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus
pasif
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping
konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak
lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses
tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor
bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif,
bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta
layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu
kelancaran usaha pelayanan itu.
Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah
usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada
konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu
hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya
akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat
dilakukan oleh siapa saja
Benarkah pekerjaan bimbingan konseling
dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula
“tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai
pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan
jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan,
metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara
profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah
bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang
bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan
latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.
13. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua
klien
Cara apapun yang akan dipakai untuk
mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal
yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien
dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara
yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji
secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara
yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara
bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin
dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada
penggunaan instrumentasi
Perlengkapan dan sarana utama yang
pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan
keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen
(tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu.
Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan
melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu,
konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai
alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan
bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik
akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha
mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan
15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling
harus segera terlihat.
Disadari bahwa semua orang menghendaki
agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya
pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul,
lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik
atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu
masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja
baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian..
Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi
seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru
pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.
3. Karakter BK yaitu seperti?
BK ( Bimbingan dan Konseling )
merupakan suatu wadah untuk menyelesaikan masalah serorang atau kelompok sampai
masalah tersebut memang betul-betul untuk dapat di membantu menyelesaikan
masalah anda dan kerahasian kami jaga 100% karena dalam BK terdapat Azaz –azaz
yang harus di patuhi oleh setiap guru BK, seorang guru BK dan pendukung bonek
smagat dan kami menyediakan a. Konseling ialah berhubungan dengan usaha, untuk
mempengaruhi perubahan sebagian besar dari tingkah laku klien secara sukarela.
Maksud dari konseling ialah menyajikan kondisi yang dapat
memperlancar dan mempermudah perubahan sukarela itu.
• Klien atau konseli mempunyai batas gerak sesuai dengan
tujuan konseling secara khusus ditetapkan bersama oleh konselor dan klien pada
waktu permulaan proses konseling itu.
• Konidisi yang memperlancar perubahan tingkah laku itu
diselenggarakan melalui wawancara.
• Suasana mendengarkan terjadi dalam konseling, tetapi
tidak semua proses konseling itu terdiri dari mendengarkan itu saja
• .Konselor memahami klien
• .Konseling diselenggarakan dalam keadaan pribadi dan
hasilnya dirahasiakan
• .Klien mempunyai masalah-masalah psikologis dan
konselor memiliki keterampilan atau keahlian di dalam membantu memecahkan
masalah-masalah
4. Kecermatan BK yaitu?
Kecermatan BK ( Bimbingan Konseling )
Menyangkut Ketepatan Menguunakan Layanan, Ketepatan menggunakan Strategi dalam
penyelesaian masalah,keberhasilan mencapai suatu tujuan dalam konseling, dan
yang paling penting Kecermatan Konselor dalam Berikap, Bekerja,
Bertanggungjawab, dan saat menyelesaikan masalah konseli. Sebab pekerjaan
konselor sangatlah banyak dan di butuhkan kecermatan yang sangat tepat dalam
menyelesaikan semua masalah yang sedang dihadapi oleh konselor.
5. Kebenaran atau Keabsahan BK yaitu?
Kebenaran atau Keabsahan BK sesuai
dengan keberadaan konselor dalam system pendidikan nasional dinyatakan sebagai
salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen pamong
belajar, tutor widyaswara, fasilitator dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003
Pasal 1 ayat 6). Kesejajaran posisi ini berarti bahwa tenaga pendidik itu
mmeiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak persis sama
dengan guru. Hal ini mengandung implikasi bahwa untuk masing-masing kualifikasi
pendidik, termasuk konselor, perlu disusun standar kualifikasi akademik dan
kompetensi. Dengan demikian mempertimbangkan berbagai kenyataan serta pemikiran
yang telah dikaji, bias ditegaskan bahwa pelayanan ahli bimbingan dan konseling
yang diampu oleh konselor berada dalam konteks tugas pelayanan yang bertujuan
memandirikan individu. Juga telah di legalitas Eksistensi dalam UU No 20/2003
Pasal 1 (6) dan KEPERAWANAN PP 19/2005. Jadi dapat disimpulkan bahwa BK
(Bimbingan Konseling) telah diakaui Kebenarannya dan Keabsahannya oleh
Pemerintah untuk dapat menjadi suatu Profesi dalam dunia pendidikan maupun
pekerjaan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi menurut kesimpulan diatas yaitu
tentang Epistemologis BK ( Bimbingan Konseling ) dimana pengetian Epistemologis
sendiri yaitu merupakan penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan
teori epistema. Epistema —bahasa Yunani Kunonya, epistémé, atau bahasa
Inggerisnya, epistemic— adalah teori pengetahuan tentang: (a) asal-usul, (b)
anggapan, (c) karakter, (d) rentang, dan (e) kecermatan, kebenaran atau
keabsahan pengetahuan dan Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan
dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya
serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki
oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan
panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode
deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis dan
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya
serta pertanggung-jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai
metode tersendiri dalam teori ilmu pengetahuan diantaranya metode induktif,
metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatif, dan metode dialektis.
Dengan kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, Gregory Bateson
menilai kemajuan ini cenderung memperbudak manusia akibat dari kesalahan
epistemologi barat dan ini harus diluruskan. Maka sudah di jelaskan diatas
tentang epistemologis BK muali Asal-usul, Anggapan, Karakter, Kecermatan dan
Keabsahan atau Kebenaran BK dalam bidang profesi.
A. Kedudukan BK
Secara Formal
Secara
formal kedudukan bimbingan dan konseling ada dalam Sistem Pendidikan di
Indonesia, antara lain :
UU
No. 2 tahun 1989 bab I pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa :
“Pendidikan adalah usaha sadar menyiapkan peserta
didik melalui bimbingan dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang”
PP
No. 28 untuk SD dan PP No. 29 untuk SMP dan SMA tahun 1990 Bab X pasal 25 ayat
1 yang menyatakan :
“Bimbingan adalah bantuan peserta didik untuk
memahami diri, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan”
“Bimbingan dilaksanakan oleh guru pembimbing”
3. UU
No. 20 tahun 2003 bab I pasal 1 ayat 6
“Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, dan konselor, widyaiswara, pamong belajar,
fasilitator dan sebutan lain sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan”
Dari
penjelasan di atas, jelaslah bahwa bimbingan dan konseling tidak sekedar
tempelan saja. Layanan bimbingan dan konseling mempunyai posisi dan peran yang
cukup penting dan strategis. Bimbingan dan konseling berperan untuk memberikan
layanan kepada siswa agar dapat berkembang secara optimal melalui proses
pembelajaran secara efektif.
Agar
dapat membantu siswa dalam proses pembelajaran, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan pribadi sehingga dapat membantu keseluruhan proses
belajarnya. Dalam kaitan ini para pembimbing diharapkan untuk :
1. Mengenal
dan memahami setiap siswa baik secara individual maupu kelompok,
2. Memberikan
informasi-informasi yang diperlukan dalam proses belajar,
3. Memberi
kesempatan yang memadai agar setiap siswa dapat belajar sesuai dengan
karakteristik pribadinya,
4. Membantu
setiap siswa dalam menghadapi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya,
5. Menilai
keberhasilan setiap langkah kegiatan yang telah dilakukan.
Berkenaan dengan hubungan antara
bimbingan dan pendidikan tersebut di atas, Rochma Natawidjaja (1990: 16)
Memberikan penjelasan sebagai berikut:
“...bimbingan dan konseling memiliki fungsi dan
posisi kunci dalam pendidikan di sekolah, yaitu sebagai pendamping fungsi utama
sekolah dalam bidang pengajaran dan perkembangan intelektual siswa dalam bidang
menangani ihwal sisi sosial pribadi siswa..”
Lebih
lanjut ia menegaskan bahwa bimbingan dan konseling memiliki fungsi memberikan
bantuan kepada siswa dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan pendidikan,
yaitu manusia seutuhnya (tercapainya segala aspek kehidupan manusia).
B. Kedudukan BK dalam Setting Pendidikan Formal
Pemetaan layanan BK seperti yang
tertera pada gambar di atas, menampilkan dengan jelas kesejajaran antara posisi
layanan BK yang memandirikan dengan layanan manajemen pendidikan dan layanan
pembelajaran yang dibingkai oleh kurikulum khusus sistem persekolahan sebagai
bentuk kelembagaan dalam jalur pendidikan formal. Wilayah bimbingan dan
konseling yang memandirikan menjadi tanggung jawab konselor.
Pelayanan bimbingan dan konseling dapat
memberikan sumbangan yang berarti terhadap pengajaran. Misalnya, siswa dapat
mencapai prestasi belajar yang optimal apabila terbebas dari masalah-masalah
yang dapat mengganggu proses belajarnya. Pembebasan masalah tersebut dapat
dilakukan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Materi layanan bimbingan
dan konseling dapat dimanfaatkan oleh guru untuk penyesuaian pengajaran dengan
individualitas siswa.
Pelayanan bimbingan dan konseling juga
memberikan sumbangan dalam manajemen dan supervisi. Misalnya, berkaitan dengan
penyusunan kurikulum, pengembangan program-program belajar, pengambilan belajar
yang tepat dalam rangka penciptaan iklim sekolah yang benar-benar menunjang
bagi pemenuhan kebutuhan dan perkembangan siswa.
Begitu pula sebaliknya, bidang
pengajaran, manajemen, dan supervisi memberikan sumbangan besar bagi pelayanan
bimbingan dan konseling. Jika ketiganya berjalan dengan baik, maka akan mencegah
timbulnya masalah pada siswa juga sebagai wahana pengentasan masalah-masalah
siswa.
Bimbingan Konseling Pada Pendidikan
Formal
Eksistensi program bimbingan dan
konseling pada pendidikan formal di SMP/Madrasah sudah diakui keberadaannya,
hal ini terbukti dari dikeluarkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tentang Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23
tentang Standar Kompetensi Luluusan untuk Satuan Penndidikan Dasar dan
Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan
pula Peraturan Mendiknas No. 24 tahun 2006.
Dari ketiga peraturan
tersebut memuat beberapa hal penting diantaranya bahwa satuan pendidikan dasar
dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah yang kemudian dipopulerkan dengan istilah KTSP. Didalam
KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga komponen yaitu;
1.
Mata Pelajaran
2.
Muatan Lokal
3.
Pengembangan Diri
1. Tugas Perkembangan diri sebagai
remaja yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa meliputi topik-topik ;
·
Memahami secara lebih luas dan
mendalam, meyakini dan menjalankan kaidah-kaidah agama yang dianutnya
(Bimbingan Pribadi).
·
Memahami, menjalankan, hubungan
sosial berdasarkan kaidah-kaidah agama yang dianut (Bimbingan sosial).
·
Memahami dan mewujudkan
kegiatan-kegiatan belajar sesuai dengan kaidah-kaidah ajaran agama (Bimbingan
belajar).
·
Memahami dan menjalankan
kaidah-kaidah agama dalam pengarahan diri untuk pengembangan karir.
2. Tugas Perkembangan mempersiapkan
diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap perubahan fisik dan
psikis yang terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang sehat, meliputi
topik-topik ;
·
Memahami dan menerima perubahan
fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri (Bimbingan Pribadi)
·
Memahami dan menjalankan pola hidup
sehat (Bimbingan Pribadi)
·
Memahami bahwa perubahan fisik dan
psikis mempengaruhi hubungan sosial serta bersikap empati kepada orang lain
yang sedang mengalami perubahan fisik dan psikis (Bimbingan Sosial)
·
Memahami pengaruh perubahan fisik
dan psikis terhadap kegiatan belajar serta mampu mengatasi kesulitan yang
terjadi akibat perubahan fisik dan psikis dalam kegiatan belajar (Bimbingan
Belajar)
·
Memahami bahwa kondisi fisik dan
psikis mempengaruhi pengembangan persiapan karir serta mengembangkan kondisi
fisik dan psikis yang sehat untuk pengembangan karir (Bimbingan Karir)
3. Mencapai pola hubungan yang baik
dengan teman sebaya dalam peranannya sebagai pria atau wanita
·
Memahami, menerima dan menjalankan
peran pribadi dalam kelompok sebaya sebagai pria atau wanita (Bimbingan
Pribadi)
·
Mampu menjalin hubungan sosial
dengan teman sebaya sesaui perannya sebagai pria atau wanita (Bimbingan Sosial)
·
Mewujudkan pengaruh positif dan
menghindari pengaruh yang negatif dari hubungan teman sebaya terhadap kegiatan
belajar (Bimbingan Belajar)
·
Memanfaatkan hubungan teman sebaya
dalam upaya pengembangan persiapan karir dan memahami bahwa pria dan wanita
mempunyai kedudukan yang sama dalam bekerja dan mengembangkan karir
4. Tugas perkembangan ; memantapkan
nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan sosial yang
lebih luas
·
Memahami dan menjalankan nilai dan
cara bertingkah laku pribadi dalam kehidupan diluar kelompok sebaya (Bimbingan
Pribadi)
·
Memahami dan mampu menerapkan
nilai-nilai dan cara berperilaku sosial dalam kehidupan diluar kelompok sebaya
(Bimbingan Sosial)
·
Memahami pengaruh hubungan dalam
kehidupan sosial yang lebih luas terhadap kegiatan belajar serta mewujudkan
pengaruh positif dan menghindari pengaruh negatif dari hubungan dalam kehidupan
sosial yang lebih luas terhadap kegiatan belajar
5. Mengenal bakat, minat, serta arah
kecenderungan karir dan apresiasi seni
·
Memahami kemampuan, bakat dan minat
yang dimiliki dan arah kecenderungan karir sesuai dengan bakat dan minat
(Bimbingan Pribadi)
·
Mengenal aspek-aspek sosial terhadap
kemampuan , bakat dan minat (Bimbingan Sosial)
·
Memahami aspek-aspek sosial dalam
pengembangan karir dan dalam apresiasi seni (Bimbingan Sosial)
·
Memahami pengaruh positif kemampuan,
bakat dan minat sendiri terhadap kegiatan belajar serta pengaruh positif
apresiasi seni terhadap kegiatan belajar (Bimbingan Belajar)
·
Memahami pengaruh kemampuan, bakat
dan minat terhadap karir (Bimbingan Karir)
·
Mampu mengarahkan kecenderungan
karir sendiri sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat (Bmbingan Karir)
·
Mampu mengapresiasi berbagai jenis
karir dalam bidang seni (Bimbingan Karir)
6. Mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan sesuai dengan kebutuhannya untuk mengikuti dan melanjutkan
pelajaran dan / atau mempersiapkan karir serta berperan dalam kehidupan
masyarakat.
·
Memiliki kesadaran dan dorongan yang
kuat untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan yang menjadi program sekolah
·
Memiliki kesadaran dan dorongan
untuk melanjutkan pelajaran pada tingkat yang lebih tinggi
·
Memiliki kesadaran dan dorongan
untuk mempersiapkan karir yang cocok bagi dirinya (Bimbingan Pribadi)
·
Memiliki kesadaran dan dorongan
untuk berperan aktif dalam kehidupan masyarakat (bimb. sosial)
7. Mengenal gambaran dan
mengembangkan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial, dan
ekonomi.
·
Memiliki gambaran tentang kehidupan
mandiri secara emosional, sosial, dan ekonomi (Bimbingan Pribadi)
·
Memiliki gambaran tentang sikap yang
seharusnya diambil dalam kehidupan mandiri secara emosional, sosial, dan
ekonomi (Bimbingan Pribadi)
·
Memiliki kesadaran dan dorongan
untuk melaksanakan sikap dasar dalam kehidupan mandiri, emosional, sosial, dan
ekonomi. Motivasi untuk melaksanakan sikap dasar dalam kehidupan mandiri,
emosional, sosial dan ekonomi.(bimbingan Pribadi)
8. Mengenal sistem etika dan
nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan minat
manusia.
·
Memiliki kesadaran ada dan perlunya
sistem etika dan nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi dan anggota
masyarakat. (Bimbingan Pribadi)
·
Memiliki dorongan yang kuat untuk
berperilaku sesuai dengan sistem etika dan nilai bagi pedoman hidup sebagai
pribadi dan anggota masyarakat.(Bimbingan Pribadi)
·
Memahami aspek-aspek sosial dalam
sistem etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota
masyarakat, dan warga negara. (Bimbingan Sosial)
·
Memahami pengaruh sistem etika dan
nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga negara
dalam kegiatan belajar. (Bimbingan Belajar)
·
Memahami pengaruh sistem etika dan
nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga negara
dalam kegiatan belajar (Bimbingan Karir).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar